Sobat Ngamen pernah mendengar lagu lagu Wak Uteh ?, saya yakin banyak yang menyukainya karena lagunya yang super kocak dengan selalu mempertahankan tradisi dan ciri khas melayu. Saya termasuk yang sangat menggemari lagu lagunya. Dua lagu favorit saya adalah Angin Koncang dan Tutur Melayu. Nah, kali ini saya akan bagikan informasi dari lenteratimur.com tentang siapa Wak Uteh sebenarnya.
Di Sumatera Utara, tepatnya di Tanjung Balai, terdapat manusia jenius
di bidang musik Melayu Pesisir. Wak Uteh, begitu namanya. Tapi, pada
mulanya, Wak Uteh bukanlah nama orang. Ia merupakan nama sebuah judul
lagu yang dinyanyikan oleh Djalaut Hutabarat.
Djalaut Agustinus Hutabarat adalah pemimpin Roncah Group Musik
Tanjung Balai yang beranggotakan Tok Laut, Syafii Panjaitan, Azlina,
Azum, Darwin Sitinjak, Atoen Soraya, Ika, Sima, Rita, Ratna Hasibuan,
dan Syawal DM. Sedangkan ‘Wak Uteh’ digunakan sebagai nama pengganti
Djalaut begitu judul lagunya itu terkenal. Karena itu, tak heran jika
masyakarat pun lebih mengenal nama Wak Uteh ketimbang Djalaut atau
Roncah.
Lagu-lagu Wak Uteh lahir di saat lagu-lagu Melayu mulai memudar. Dia
muncul ketika masyarakat Mandailing, Batak, dan Karo cukup progresif
memproduksi lagu-lagunya–yang dinyanyikan saat pesta-pesta pernikahan
dan acara-acara perhelatan kebudayaan. Lambat laun, kuping orang Melayu
lebih akrab dengan lagu-lagi dari Mandailing, Karo, dan Batak.
Lagu Melayu
terasa tak lagi berkembang, dan yang dimainkan atau beredar pun hanya
yang buatan lama saja. Kondisi ini membuat Wak Uteh merasa ‘terpanggil’.
Dia pun menciptakan lagu Melayu agar tak terpendam, lenyap tak
bertapak.
Akan tetapi, Wak Uteh sendiri adalah orang Batak, bukan Melayu tulen
(dalam pengertian etnis). Kecintaannya terhadap kebudayaan Melayulah
yang membuatnya dapat menyerap “roh” Melayu Pesisir yang jenaka dan
mengihibur. Karena itu, di kalangan masyarakat, lagu-lagu Wak Uteh
bagaikana memiliki “sihir”. Dia menjadi pemuas rindu atas mulai pupusnya
lagu-lagu Melayu Pesisir.
Rentak senandung Wak Uteh pun bergema ke seluruh penjuru melalui
lagu-lagu yang diproduserkan oleh Wak Uteh sendiri, alias Djalaut
Hutabarat. Di rumah-rumah, angkutan-angkutan umum, kedai-kedai, selalu
terdengar musik pesisir ini. Wak Uteh menjadi dekat di hati masyarakat
Sumatera Utara, khususnya Tanjung Balai. Bahkan, senandungnya sudah
sampai ke Semenanjung di Malaysia.
Lantaran besarnya pengaruh Wak Uteh terhadap perkembangan musik
Melayu Pesisir, sudah banyak penghargaan yang diraihnya. Dan hingga
kini, Wak Uteh disebut-sebut sudah mencapai album ke-15.
Isi
Musik Wak Uteh memiliki ciri khas pada rentak-nada iramanya (beat). Nuansanya riang gembira, ringan (easy listening), dan bergaya Melayu Pesisir. Sesekali satir, penuh humor, dan menceritakan kenyataan sehari-hari. Dan sebagaimana musik-musik Melayu, pantun pun menjadi “bahan” utama dalam membuat komposisi lirik dan lagu.
Musik Wak Uteh memiliki ciri khas pada rentak-nada iramanya (beat). Nuansanya riang gembira, ringan (easy listening), dan bergaya Melayu Pesisir. Sesekali satir, penuh humor, dan menceritakan kenyataan sehari-hari. Dan sebagaimana musik-musik Melayu, pantun pun menjadi “bahan” utama dalam membuat komposisi lirik dan lagu.
Dari segi isi, lagu-lagu Wak Uteh sebagian besar menyoroti latar
kehidupan masyarakat Tanjung Balai, yang mayoritas merupakan nelayan.
Dia memotret keseharian manusia dengan segala problematikanya.
Sebut saja kisah nelayan yang tetap saja kurang dalam mencari uang
meski badan sudah meriang. Ketika pulang ke rumah, istri malah merepet
panjang-panjang. Kadang, jika dapat uang sedikit, dia tak lagi peduli
pada apapun, termasuk rumah hendak runtuh, yang penting makanan enak
tersedia.
Ada juga kisah seorang anak yang baru berusia 16 tahun tapi sudah
dikawinkan. Tak kenal sepatu apalagi minum susu. Kondisi yang berubah
ini tersurat dalam lagu yang berjudul “Bingung”.
Dunia ini tabalek-balek, natuo-tua bacewek-cewek,
omak-omak basolek, na mudo-mudo tagolek-golek.
omak-omak basolek, na mudo-mudo tagolek-golek.
Baru duduk kelas lima SD , bapacaran sudah pande-pande,
matematika dia tak tau, nulis surat cinta dia nomor satu.
matematika dia tak tau, nulis surat cinta dia nomor satu.
Bingung-bingung mari kito bingung, linglung-linglung banyak orang linglung.
Lirik dalam lagu-lagu Wak Uteh lugas, tegas, dan bernas. Tak
menggunakan bahasa-bahasa kiasan indah. Pada sebuah lagu yang berjudul
“Ikan Asin”, misalnya, Wak Uteh juga berkisah mengenai kondisi sebelum
Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden Republik Indonesia.
Tak ketinggalan kisahnya menyasar pada calon-calon legislator yang penuh
dengan janji.
Begini lirik lagunya:
ikan asin tahu tempe hari hari ho… daun ubi sayur kangkung hari hari ho 2 x
pokak-pokak talingo bodoh-bodoh mambodoh jadinyo 2 x
pokak-pokak talingo bodoh-bodoh mambodoh jadinyo 2 x
jangan waktu kampanye saja bapak buat janji-janji indah
tapi setelah bapak duduk, ngantuk-ngantuk-ngantuk
tapi setelah bapak duduk, ngantuk-ngantuk-ngantuk
siapa suka, suka adenda, di kolam kami banyak limbat
kapalo limbat dipotuk, dipanggang obat mangantuk
kapalo limbat dipotuk kawannya kopi samangkuk
kapalo limbat dipotuk, dipanggang obat mangantuk
kapalo limbat dipotuk kawannya kopi samangkuk
tralalalalala… 2 x
jangan kuyak bapak bendera kami jangan diribak bapak persatuan kami
wahai bapak presiden tolong hapuskan KKN
hidup rakyat akan paten kalau diurus telaten
wahai bapak presiden tolong hapuskan KKN
hidup rakyat akan paten kalau diurus telaten
tak lagi hargo-hargo naek tak tak lagi makan kapalo ikan asin
ikan asin tahu tempe hari hari ho… daun ubi sayur kangkung hari hari ho…
pokak-pokak talingo bodoh-bodoh mambodoh jadinyo 2 x
pokak-pokak talingo bodoh-bodoh mambodoh jadinyo 2 x
jangan setelah bapak dilantik mau jumpa pun sulit-sulit
dulu sebelum dapat kursinya ramah-ramah-ramah
siapa suka-suka adekda di ladang kami banyak ular
jangan mambolit mangular duit rakyat pun diputar
jangan mambolit mangular duit rakyat pun diputar
tralalalalala… 2 x
hukum mati saja para koruptor jangan pemerintah jadi diktator
soesilo bambang yudhoyono manjanjikan parobahan
mari kita samo-samo saling bantu mewujudkan
soesilo bambang yudhoyono manjanjikan parobahan
mari kita samo-samo saling bantu mewujudkan
Selain itu, ada juga satu lagu yang berjudul “Tutur Melayu”. Lagu ini
mengingatkan orang tentang bagaimana seharusnya orang Melayu (Sumatera
Timur) bertutur, memanggil kepada yang lebih tua dan lebih muda.
yang pertama ulong
yang kedua ongah
yang ketiga alang
yang keempat uteh
yang kelima iyong
yang keenam anggah
yang ketujuh anggak
seterusnya busu ucu
yang kedua ongah
yang ketiga alang
yang keempat uteh
yang kelima iyong
yang keenam anggah
yang ketujuh anggak
seterusnya busu ucu
kalau ayahnya ayah itu disebut atok
kalau omaknya ayah itu disebut nenek
kalau abangnya ayah itu disebut uak
kalau adeknya omak itu disebut incek
kalau atoknya atok itu disebut apo
kalau omaknya ayah itu disebut nenek
kalau abangnya ayah itu disebut uak
kalau adeknya omak itu disebut incek
kalau atoknya atok itu disebut apo
takkan hilang ditelan zaman, takkan lapuk disiram hujan
lestarilah budayaku sepanjang zaman, lestarilah budayaku sepanjang masa
lestarilah budayaku sepanjang zaman, lestarilah budayaku sepanjang masa
Tampilan
Banyak lagu-lagu Wak Uteh yang sudah ditampilkan dalam bentuk audio visual. Dan di sana kerap ditampilkan pemandangan suasana dan situasi Tanjung Balai. Misalnya sampan-sampan kecil yang setiap detik merengkuh gelombang bertarung melawan angin, dermaga dan titi kecil berbahan papan, pantai tanpa nyiur, burung-burung menepis buih, anak-anak bermain-main di air kotor, gadis-gadis Tanjung Balai, atau nelayan memukat ikan.
Banyak lagu-lagu Wak Uteh yang sudah ditampilkan dalam bentuk audio visual. Dan di sana kerap ditampilkan pemandangan suasana dan situasi Tanjung Balai. Misalnya sampan-sampan kecil yang setiap detik merengkuh gelombang bertarung melawan angin, dermaga dan titi kecil berbahan papan, pantai tanpa nyiur, burung-burung menepis buih, anak-anak bermain-main di air kotor, gadis-gadis Tanjung Balai, atau nelayan memukat ikan.
Akan tetapi, meski dapat menghibur dan mampu membuat orang tertawa
suka, video-video klip Wak Uteh sungguh jauh dari kesan professional.
Teknik pengambilan gambarnya tak digarap serius, wajah-wajah model di
klipnya tak dirias secara pas, pencahayaan susah untuk disebut mantap,
dan gambarnya yang kadang bergoyang-goyang. Skenario pembabakan dalam
klipnya pun terkesan seadanya. Gambar-gambarnya lebih bersifat tempelan,
sambungan dari berbagai gambar-gambar.
Wak Uteh nampaknya lebih memikirkan soal suara ketimbang yang
lainnya. Ya, kalau soal suara, Wak Uteh dan Roncah Group memang jagonya.
Suaranya khas sekali dan enak di dengar.
Masyarakat di luar Tanjung Balai atau Sumatera Utara barangkali belum
pernah melihat aksi panggung Wak Uteh. Maklum, perusahaan-perusahaan
televisi lokal Jakarta memang tak pernah menyiarkannya. Alih-alih
meliput aksi panggung Wak Uteh, perusahaan-perusahaan televisi itu lebih
suka memasukkan kebudayaan-kebudayaan lain ke Sumatera Utara. Ya,
televisi Jakarta memang dilegalkan untuk melakukan penetrasi ke Sumatera
Utara, sementara Sumatera Utara tidak dapat melakukan sebaliknya ke
Jakarta.
Dapat bertahannya Wak Uteh di zaman yang penuh dengan kesebentaran
ini juga dapat dipandang sebagai sebuah keberhasilan. Ada kerja keras
dari dalam yang menghasilkan suatu ‘karang yang tegak’.
Melalui Wak Uteh, orang seakan diingatkan kembali bagaimana potret
orang Melayu Pesisir yang penuh etika dan budaya. Pun mengingatkan
bagaimana belajar bertutur yang sudah diatur oleh leluhur.
Sumber : lenteratimur.com
Advertisement