Perkembangan dunia percetakan selalu mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan manusia dari segala segi. Artikel menarik yang ditulis oleh Indarta Kuncoro Aji ini adalah salah satu bukti bahwa teknologi printing selalu mengalami perkembangan. Jika kita selalu dihadapkan pada percetakan dengan dua dimensi dengan hasil berbahan kertas, kain dan lain sebagainya, seiring dengan perkembangannya printing digital dengan teknologi 3 dimensi mencengangkan dunia. Mulai dari membuat replika patung sampai pada pembuatan gedung gedung bertingkat saat ini sudah bisa dibuat hanya dengan alat printing digital yang dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan yang diprogram. Namun sobat pingin tahu bagaimana sejarah awal mula printing 3dimensi ini mulai dikembangkan. Artikel kali ini akan mengulasnya seperti yang telah dirilis dalam majalah 1000guru.
Printer 3D (tiga dimensi) pertama kali dikenalkan di pasaran Indonesia pada tahun 2013. Namun teknologi ini sendiri sebenarnya telah ditemukan sejak lama, tepatnya di tahun 1981 oleh Hideo Kodama dari Nagoya Municipal Industrial Research Institute yang menggunakan bahan baku photopolymer untuk mencetak/menghasilkan objek tiga dimensi dari printer tersebut. Material plastik yang berbentuk cair ini digunakan karena memiliki sifat yang mampu berubah bentuk menjadi keras jika papar cahaya. Berbeda dengan termoplastik yang digunakan dalam teknologi ekstrusi material (peleburan material), photopolymer adalah material termoset. Bahan tersebut tidak dapat dilelehkan atau dilunakkan kembali setelah mengeras akibat dari reaksi kimia oleh proses penyinaran cahaya.
Jika kita menelisik lebih jauh ke belakang, printer 3D lahir dari sejarah panjang ilmu topografi dan photosclupter. Semua dimulai dari akhir abad ke-19, ketika para ilmuwan mencoba untuk menciptakan sebuah peta relief berbentuk tiga dimensi. Pada tahun 1892, Joseph E. Blanther yang bekerja pada kerajaan Austria-Hungaria menggunakan metode berlapis untuk menentukan garis kontur topografi. Bahan yang digunakan oleh Blanther adalah lapisan lilin yang telah dipotong membentuk pola garis kontur ketinggian yang kemudian ditumpuk menjadi satu sehingga menghasilkan permukaan tiga dimensi berupa gundukan sebagai pola positif. Sementara itu, permukaan tiga dimensi berupa pola negatif berbentuk cekungan yang merupakan pasangan dari permukaan gundukan. Keduanya berfungsi sebagai alat cetak kontur. Cara kerjanya adalah dengan meletakkan kertas cetak di antara pola positif dan negatif, kemudian ditekan antara pola positif dan negatif menjadi satu, sehingga kertas yang tersisip di antara kedua pola tersebut akan ikut tertekan dan terlipat membentuk pola kontur yang diinginkan.
Kemudian di tahun 1937, Banmnuarchigel V. Perera mematenkan karyanya mengenai pembuatan peta relief tiga dimensi yang hampir mirip dengan karya dari Blanther, namun Perea menggunakan menggunakan karton sebagai pengganti lilin. Lembaran karton terlebih dahulu dipotong mengikuti pola garis kontur yang diinginkan, lalu lembaran karton tersebut ditumpuk sedemikian rupa agar sesuai dengan pola kontur tiga dimensi yang diinginkan. Tiap lembar karton mewakili skala ketinggian tertentu. Dengan menggunakan karton, Perera mengklaim bahwa karyanya dapat menghasilkan tingkat akurasi tinggi dengan biaya yang rendah serta tidak memakan banyak waktu dan tenaga.
Pada tahun 1972, Matsubara dari Mitsubishi Motors mengajukan sebuah proses topografi menggunakan photopolymer untuk membentuk lapisan tipis sebagai alat cetak pengecoran sebuah objek topografi untuk menggantikan lilin maupun karton seperti yang dilakukan oleh Blanther dan Perera. Pembentukan lapisan tipis dari photopolymer sendiri dilakukan dengan menggunakan teknik pencahayaan. Inilah yang mengawali penggunaan photopolymer sebagai bahan baku pada proses teknik topografi, serta sekaligus mengawali penggunaan photopolymer sebagai bahan baku utama dari printer 3D oleh Kodama.
Di lain pihak di abad yang sama, photosculpture muncul dalam upaya menciptakan replika objek tiga dimensi yang mengacu pada bagian atau bentuk tubuh manusia. Di tahun 1860, seorang seniman pahat dari Prancis yang bernama Francois Willem berhasil menggunakan metode ini untuk membuat sebuah objek tiga dimensi berupa patung manusia. Dalam metodenya, Willeme meletakkan sebuah benda yang akan diduplikasi di tengah-tengah ruang melingkar. Di sana diletakkan juga 24 buah kamera yang mengelilingi dan mengarah pada benda tersebut untuk mengambil foto benda tersebut dari posisi sudut yang berbeda. Siluet dari setiap foto yang dihasilkan tersebut digunakan sebagai panduan untuk memahat.
Foto proses photosculpture dimana seseorang sedang duduk di tengah-tengah panggung berbentuk lingkaran untuk difoto (referensi: George Eastman House)
Oleh Carlo Baese yang berasal dari Jerman, proses ini dikembangkan dengan menggunakan cahaya tunggal (monokrom) untuk mengikis atau memahat lilin. Lama waktu penyinaran digunakan untuk menentukan bentuk kontur sesuai dengan yang diinginkan. Semakin lama lilin tersebut dipanaskan, semakin dalam bagian yang terkikir oleh panas yang berasal dari cahaya tersebut.
Di tahun 1968, William J. Swainson yang berasal dari Inggris memiliki metode yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh Baese, yaitu dengan menembakkan dua buah laser pada photosensitive polymer untuk membentuk sebuah objek tiga dimensi. Sinar laser berfungsi untuk mengikis permukaan material hingga membentuk pola benda yang diinginkan. Photosensitive polymer sendiri adalah material plastik yang sensitif terhadap paparan radiasi cahaya, sehingga akan berubah bentuk jika terpapar oleh cahaya. Perangkat eksperimen yang dilakukan oleh Swainson juga dibangun di Laboratorium Battelle di Amerika Serikat pada tahun 1984, namun perangkat ini tidak cukup murah untuk dipasarkan.
Dari proses panjang ini lahirlah printer 3D pertama yang diciptakan oleh Kodama, yang lebih dikenal dengan nama Rapid Prototyping (RP) technologies. Nama ini diambil karena teknologi tersebut dapat mempercepat proses pengembangan produk manufaktur di industri dengan biaya yang sangat murah. Cara kerja dari RP ini adalah dengan cara membentuk objek secara berlapis menggunakan photopolymer, yang merupakan gabungan dari teknologi topografi dan photosclupter.
Kemudian pada tahun 1983 Charles Hull menemukan sebuah mesin yang bernama stereolithography apparatus (SLA). Prinsip dari mesin ini adalah dengan mengubah plastik cair photopolymers menjadi bahan padat menggunakan sinar ultraviolet atau laser. Ketika sebuah objek sedang dicetak menggunakan photopolymers pada titik di sebuah platform, secara bersamaan sinar uv atau laser juga ditembakkan pada titik di platform tersebut sehingga objek yang sedang dicetak akan langsung mengeras. Platform yang digunakan sendiri dapat bergerak naik turun, sehingga proses objek tiga dimensi terjadi dengan cara berlapis (ditumpuk). Proses perancangan objek serta pengontrolan printer sendiri dilakukan dengan menggunakan komputer. Berkat penemuannya ini, Hull mendirikan sebuah perusahaan bernama 3D Systems Corporation yang merupakan salah satu perusahan printer 3D terbesar saat ini.
Setelah ditemukannya teknologi SLA, teknologi printer 3D lainnya mulai bermunculan seperti selective laser sintering (SLS). Seperti teknologi 3D lainnya, SLS juga dimulai dengan file 3D yang dirancang menggunakan komputer. Pada proses SLS, lapisan bubuk tersebar di atas platform secara merata. Sistem laser yang dikendalikan oleh komputer berfungsi untuk memanaskan bubuk plastik. Selain itu, terdapat proses yang mirip dengan SLS yang disebut direct metal laser sintering (DMLAS) yang bahan dasarnya menggunakan titanium. Teknologi ini pertama kali dikembangkan oleh Carl Deckard pada tahun 1986 di Texas University.
Perkembangan teknologi printer 3D yang pesat melahirkan begitu banyak teknik percetakan objek tiga dimensi. Selain SLA dan SLS, tidak kurang ada sekitar 10 teknik lainnya yang digunakan pada printer 3D hingga saat ini. Bahan yang digunakan juga tidak terbatas pada photopolymer, tergantung dengan tujuan dari dibuatnya objek tiga dimensi tersebut.
Saat ini penggunaan printer 3D sudah mencakup banyak hal, beberapa di antaranya dalam bidang kedokteran, manufaktur, seni, dan sebagainnya. Seperti yang telah dijelaskan pada rubrik kesehatan, Majalah 1000 Guru edisi Juli 2015 bahwa ke depan printer 3D digunakan untuk mencetak organ dalam tubuh manusia, guna memenuhi kebutuhan transplantasi organ tubuh yang semakin meningkat. Beberapa kelebihan dari penggunaan printer 3D di antaranya: lebih murah dan efektif dalam memproduksi prototype sebuah produk industri, dapat diproduksi dengan skala kecil atau bahkan satuan (customize), serta mampu menghasilkan produk yang lebih detail dan kompleks.